Kamis, 09 Agustus 2012

“ORENG” TRADISI SASTRA LISAN YANG MENDARAH DAGING


             Tradisi lisan merupakan bagian dari kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Sebagai kekayaan budaya, tradisi lisan tidak hanya berfungsi  sebagai alat hiburan, melainkan juga sebagai alat untuk memelihara dan mewariskan buah pikiran suku bangsa atau daerah pemiliknya. Di samping itu sebagai warisan budaya, tradisi lisan mengandung nilai-nilai luhur, norma, yang dapat digunakan sebagai pembentuk, perekat, pengontrol dan pengatur manusia dalam bermasyarakat. Oleh karena itu perlu dilestarikan, dikembangkan  dan dimanfaatkan dalam hubungannya dengan pembinaan apresiasi budaya pada umumnya. 
Salah satu jenis tradisi lisan tersebut adalah nyanyian rakyat. Nyanyian rakyat dalam hal ini yakni nyanyian naratif merupakan jenis sastra lisan bercorak naratif (cerita) yang dipertunjukkan dengan cara dinyanyikan atau dilagukan. Nyanyian naratif merupakan murni hasil kreatifitas masyarakat dan menjadi milik bersama, kemudian diwariskan secara turun temurun dengan cara berguru. Tidak ada buku rujukan yang dapat dijadikan pegangan, karena itu, nyanyian naratif termasuk kategori kelisanan primer primary oral.
Sebagai sebuah tradisi lisan yang hidup dan berkembang dalam masyarakatnya, nyanyian rakyat tiada terurut lagi akan siapa nama pengarangya (anonim). Yang ada hanya bahwa nyanyian rakyat lahir dari suatu masyarakat tradisional yang masih memegang teguh tradisi lisannya. Nyanyian tersebut berkembang dan bertahan dalam masyarakat pemiliknya. Hubungan antara keduanya, yakni nyanyian rakyat dan pemiliknya, bukan merupakan sesuatu yang dicari-cari atau hanya mengada-ada saja sebab nyanyian rakyat itu menampilkan gambaran kehidupan bagi masyarakat sebagai produk sosialnya.
Nyanyian rakyat tidak sekedar hidup dan tersebar dalam masyarakat, namun juga memiliki arti penting dan fungsi-fungsi kolektif bagi pemiliknya. Nyanyian rakyat disini memuat nilai–nilai budaya sebagai bahan permenungan bagi masyrakat di mana nyanyian ini bersal.
Masyarakat Lamaholot yang mendiami wilayah Flores Timur daratan, Adonara, Solor dan Lembata dalam kehidupan bermasyarakat menunjukkan kekhasan budaya aslinya yang menceminkan ciri-ciri masyarakat daerahnya. Demikian pula dengan masyarakat Lamaholot yang tersebar di Kabupaten Lembata yang merupakan bagian suku bangsa Lamaholot umumnya, juga menampilkan kekhasan budayanya yang diwariskan secara turun temurun oleh leluhurnya.
Di Lembata terdapat banyak kesenian tradisional yang merupakan warisan kebudayaan mereka. Adapun kesenian-kesenian tradisional itu berupa tarian-tarian rakyat, dongeng atau cerita rakyat, nyanyian rakyat dan bentuk-bentuk kesenian tradisional lainnya. Dari beberapa kesenian tradisional tersebut penulis hanya menyoroti salah satu nyanyian rakyat Lamaholot yakni Oreng. Oreng  merupakan nyanyian naratif masyarakat Lamaholot yang dipertunjukan dengan cara dinyanyikan atau dilagukan oleh seorang solois yang oleh orang Lamaholot disebut Oreng Alape (Penyanyi Oreng). Biasanya Oreng bisa dinyanyikan dalam tarian saat upacara pesta-pesta adat dan hari-hari besar  lainnya. Dalam tarian , Oreng berperan sebagai pemandu tarian tersebut. Cepat atau lambatnya tarian Sole sangat tergantung pada Oreng. Oreng dalam tarian sole sangat dinamis. mula Mula-mula solois (penyanyi Oreng) menyanyi dengan tempo lambat, kemudian sedang, dan makin lama makin cepat. Ketika tempo cepat, klimaks, semua orang dalam lingkaran tarian menghentakan kaki bersama-sama sambil berteriak siti alang ga-alang ga, sebagai pertanda bahwa tarian sudah berakhir.
Di Lembata, nyanyian rakyat tidak hanya berfungsi sebagai hiburan semata melaikan juga memiliki fungsi kultural dalam masyarakatnya. Demikian pula dengan Oreng. Sebagai satu nyanyian rakyat Oreng disini mengandung ide-ide, gagasan, berbagai pengetahuan tentang alam semesta menurut persepsi budaya masyarakat yang bersangkutan, ajaran moral keagamaan dan unsur-unsur lain yang mendukung nilai-nilai luhur. Hal ini menandakan bahwa Oreng  sebagai bagian dari warisan budaya perlu dikaji, guna meningkatkan apresiasi masyarakat tehadap Oreng. dengan meningkatnya apresiasi masyarakat terhadapnya, berarti nilai-nilai yang terkandung didalamnya dapat dihayati dengan baik dan mendalam.
Sebagai warisan budaya, Oreng pada masyarakat Lamaholot di Kabupaten Lembata mempunyai berbagai versi. Setiap wilayah Kecamatan bahkan Desa memiliki versinya masing-masing. Hal ini disesuaikan dengan pola pikir, tradisi dan tata cara adat istiadat daerahnya. Namun yang menjadi objek penulisan di sini adalah Oreng versi masyarakat Desa Udak Kecamatan Nubatukan Kabupaten lembata. Di desa ini Oreng sangat digemari masyarakat dan hingga kini tetap dipertahankan sebagai hiburan rakyat. Oleh karena itu, di Desa Udak Oreng  memiliki tempat khusus di masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari sikap dan persepsi masyarakat tentang Oreng dimana mereka menyadari bahwa Oreng adalah warisan leluhur yang harus dipertahankan.
Walaupun Oreng itu sudah populer di masyarakat Lamaholot pada umumnya dan masyarakat Desa Udak khususnya, namun tidak semua orang dapat menguasai dan dapat menyanyikannya. Masyarakat menyadari bahwa Oreng adalah kesenian rakyat mereka tetapi tidak semua dari mereka belum mengetahui nilai-nilai yang terkandung di dalammya.



Hakikat Oreng
Oreng merupakan salah satu nyanyian Lamaholot berbentuk narasi. Dikatakan nyanyian naratif kerena Oreng disini berupa tuturan yang cara penuturannya adalah dengan cara dinyanyikan. Mengenai isinya, Oreng biasanya memuat berbagai kisah atau peristiwa dalam kehidupan masyarakatnya. Tema dari Oreng pun senantiasa disesuaikan dengan situasi dan suasana hati saat oreng itu dilagukan. Bagi orang Lamaholot khususnya masyarakat Udak sebagai pemilik nyanyian naratif ini, Oreng merupakan tradisi lisan yang menggambarkan kehidupan berbudaya masyarakatnya harus dijunjung tinggi dan dipahami secara khusus.
Nyanyian naratif Oreng biasanya dibawakan atau dinyanyikan oleh seorang solois ( penyanyi tunggal) yang oleh masyarakat Lamaholot di Udak biasa disebut dengan Oreng alpe. Apabila dinyanyikan sebagai pengiring tarian, oreng selalu diawali dengan Sole  (salah satu nyanyian bersama yang diselingi dengan pantun berbalasan) ketika gerak tarian itu semakin cepat maka Oreng alape akan mengambil alih. Dengan kemampuan Gapen Garek    (kemampuan penyanyi Oreng merangkai kata-kata) sang penyanyi akan mengiringi tarian dengan nyanyiannya yakni Oreng itu sendiri. Isi nyanyiannya pun cenderung lebih panjang karena dalam tarian, Oreng biasanya mengangkat berbagai kisah hidup masyarakat. Hal ini berbeda dengan Oreng yang dilagukan saat Oreng alape sedang sendirian misalnya saat mengiris tuak (tuak lolon) atau saat sedang duduk bersama sambil melepas lelah, isi Oreng hanya mengisahkan satu peristiwa kehidupan seseorang, entah itu kisah hidup Oreng alape itu sendiri atau kisah hidup orang lain yang menyentuh hati sang penyanyi.
Bahasa yang digunakan dalam Oreng bukanlah bahasa yang selalu digunakan masyarakat sehari-hari melainkan bahasa dengan pilihan kata khusus dan mengandung makna kiasan sehingga tidak bisa dipahami secara harafia namun membutuhkan interpretasi dari pendengarnya. Pilihan kata-katanya pun disesuaikan dengan motif saat Oreng dilagukan. Pilihan kata-kata khusus Oreng ini bertujuan untuk mempengaruhi perasaan pendengarnya. Jika Oreng dilagukan saat suasana sedih maka seorang Oreng alape akan menggunakan nua snusana (kata- kata sedih) yang mampu membuat pendengarnya menangis. Sebaliknya apabila oreng dilagukan saat suasana senang (dalam keramaian pesta), seorang Oreng alape biasanya menggunakan nua senarena (kata-kata bahagia ) sehingga terkadang membuat pendengarnya tertawa senang. Hal ini berhubungan dengan Oreng sebagai salah satu karya seni yang harus memiliki cita rasa seni tinggi untuk dinikmati dan akan lebih muda dipahami isinya.
Berdasarkan pada pandangan masyarakat, terutama tokoh masyarakat, dan penutur Oreng itu sendiri bahwa, hakikat Oreng tidak bisa dipisahkan dari pertimbangan akan bentuk, isi, serta arti Oreng. Kajian mengenai hakikat Oreng meliputi tujuan Oreng dilaksanakan, cara belajar Oreng, penutur Oreng dan kriteria seorang penutur.
1.        Tujuan Oreng
Nyanyian naratif Oreng merupakan tradisi turun temurun masayarakat Lamaholot termasuk masyarakat di Udak. Nyanyian naratif ini bisa saja dilagukan dengan tanpa dan melibatkan partisipan. Namun di Udak, Oreng lebih sering dinyanyikan dalam upacara-upacara adat, pesta dan bentuk-bentuk keramaian lainnya. Dengan kata lain, Oreng di Udak lebih sering dinyanyikan dengan melibatkan partisipan. Apabila membutuhkan partisipan, maka oreng ini dinyanyikan oleh Oreng alape dalam sebuah tarian, dimana semua pesertanya mendengarkan nyanyian ini secara hikmat sambil berpegangan tangan dan bergerak melingkar secara teratur yakni dengan derap kaki berirama dan tetap.
nyanyian naratif Oreng bertujuan untuk mengisahkan berbagai peristiwa kehidupan masyarakat secara keseluruhan atau peristiwa khusus  seseorang dimana kisah perseorangan ini tidak terlepas atau masih bersangkut-paut dengan kehidupan sosial masyarakat Lamaholot secara keseluruhan. Selain itu, nyanyian naratif Oreng dilakukan dengan tujuan untuk menghibur dan yang paling penting disini adalah melakukan Oreng berarti mengembangkan seni budaya Lamaholot yang kaya dengan bahasa puitis yang memiliki pengertian dan arti yang luas.
Suatu hal yang yang perlu tegaskan dalam kajian ini adalah bahwa panjang pendeknya kisah dalam nyanyian naratif Oreng sangat tergantung pada penuturnya. Dengan kata lain, bahwa penutur mempunyai hak untuk memperpanjang atau memperpendek ceritanya sesuai dengan kondisi, waktu, tempat dan situasi penuturnya. Yang penting cerita yang disampaikan oleh Oreng alape senantiasa terikat pada elemen-elemen kesusastraan sesuai dengan poetika Lamaholot.

2.        Cara Belajar Oreng
Seorang penutur Oreng haruslah mempunyai bakat khusus sehingga hanya orang-orang tertentu  yang mampu unutk menuturkan Oreng. Oleh karena itu, seorang penutur juga harus memiliki pengetahuan yang luas tentang peristiwa yang dituturkannya lewat nyanyian.selain itu, ia juga memerlukan latihan khusus bagaimana melakukan gapen garek    ( kemampuan merangkai kata-kata) dalam nyanyian naratif Oreng.
Setiap penutur memiliki cara tersendiri yakni ada yang langsung belajar pada penyanyi atau penutur terdahulu dan cara berikutnya adalah dengan cara otodidak yakni mendengar dan merekam sendiri nua maketa (kata-kata kunci) dan mempraktekannya sendiri. Cara otodidak ini jarang dilakukan oleh sembarangan orang namun ada juga yang lebih mudah untuk belajar. Cara ini penutur oreng biasanya lebih mudah untuk mengembangkan ceritanya dan bebas dalam merangkai kata-kata dalam tuturannya.
 Sebagai contoh, Berdasarkan wawancara terhadap bapak Laurensius Ali, beliau mengaku bahwa ia lebih mudah mempelajari Oreng dengan cara otodidak yakni mendengarkan nyanyian langsung dari kakaknya Alm. Antonius Lewun Udak. Perlu diketahui bahwa kedua orang ini merupakan Oreng alape yang sangat diandalkan oleh masyarakat Udak.
3.        Penutur Oreng
Oreng alape adalah penutur yang memiliki bakat khusus atau keahlian dalam menciptakan dan menuturkan Oreng. Penuturan Oreng yang dilakukan semata-mata karena dorongan dan kesadaran untuk mewariskan kesenian asli Lamaholot dan mengembangkan budaya menuturkan Oreng. Pada umumnya, di Udak, oreng alape berusia antara 40-75 tahun. Namun tidak menutup kemungkinan adanya penutur Oreng yang masih berusia lebih muda berdasarkan kriteria umur di atas. Pada umumnya, Oreng alape ini mnyanyikan Oreng karena terdorong oleh keinginan pribadinya untuk menghibur dirinya sendiri, kerabat, dan masyarakat secara keseluruhan. Selain itu, Oreng merupakan salah satu bentuk kesenian budaya Lamaholot, dan juga memiliki nilai kehidupan berbudaya serta nilai-nilai estetik yang terkandung di dalamnya.
4.        Kriteria Seorang Penutur
Dalam nyanyian naratif Oreng, seorang penutur Oreng harus betul-betul memahami dan memiliki pengalaman dalam melakukan gapen garek (kemampuan merangkai kata-kata) yang indah untuk dijadikan syair Oreng. Sesuai dengan lingkungan sosial kemasyarakatan, seorang penutur Oreng dituntut untuk betul-betul tahu, memilih kata-kata dan mampu menguasai bahasa Oreng, mempunyai warna vokal dan teknik pernapasan yang baik dan seimbang, haruss tahu apa maksud dan tujuan Oreng dilagukan sebagai penutur tuan rumah dan juga mampu menanggapi apa yang dituturkannya.

                 Sumber :Hasil diskusi Bersama Simon Vinsensius Padji, S.Pd