Kapan lagi kita berbicara seperti kemarin
saat semua luka kau obati dengan senyum mu
kini semua serasa sirna seperti sang embun ditelan mentari
kau pergi titipkan sebait puisi atas nama mu
puisi-puisi ku kini tinggalah cerita
bukan balada dari setiap tilam dari nestapa dalam itar
sediakalanya waktu berputar
senyummu tak akan memudar di angan ku
tentang mu adalah anugrah
anugrah dari mimpi sang penyair sepi
Rabu, 18 Januari 2012
MAORIN
Mengejar senyum
Antara bayang dan angan
Sisipkan taksim mimpi sang pemimpi
Mimpi ku tentang mimpi tuhan
Kala ku ukir per kalimat menjadi segurat rintih
Seonggok Rindu dan Galau dalam secangkir Kopi malam
hadirkan panembahan hati buat sesepi sesuap Pada lipatan itar
Puisi ku kini sepi dalam tilam perih
dan aku tak bisa melihat ia dalam dekapan pena ku
Puisi ku hapuslah kesut yang menggerut dikening mu
biar hati mu tak luruh pada tahta sungsang
Bila Esok dari nafasmu lahirkan sajak-sajak,
dari sajakmulah aku telah mengukir kisah kita bersama.
Antara bayang dan angan
Sisipkan taksim mimpi sang pemimpi
Mimpi ku tentang mimpi tuhan
Kala ku ukir per kalimat menjadi segurat rintih
Seonggok Rindu dan Galau dalam secangkir Kopi malam
hadirkan panembahan hati buat sesepi sesuap Pada lipatan itar
Puisi ku kini sepi dalam tilam perih
dan aku tak bisa melihat ia dalam dekapan pena ku
Puisi ku hapuslah kesut yang menggerut dikening mu
biar hati mu tak luruh pada tahta sungsang
Bila Esok dari nafasmu lahirkan sajak-sajak,
dari sajakmulah aku telah mengukir kisah kita bersama.
Selasa, 10 Januari 2012
WATANG PEING
Pagi ini serasa gelisah saat mentari menjemputku ditepi jendelah rumah
yang dicumbu waktu. Ditemani secangkir teh dan irama musik hiphop bawakan ku
pada proses panjang, entah mulai dari mana aku akan berkisah.
Nyanyian mentari masih beradu dengan
irama gokil lagu Ma’u situkang ojek buah karya dari anak-anak P.M.C(
PBSID MC CREW), menari-nari
dalam lingkaran fikiranku hingga ide-ide serasa bom waktu yang ingin meledakan
kepala ini dengan sejuta ritme tabuhan gong peperangan. Sesaat tangan ini
mengambil cangkir yang berisi teh untuk diteguk, dalam skemata fikirku dengan
berjuta kata dan rima ingin merontak bak ketuban yang pecah ingin mengeluarkan
puisi-puisi dari pijakan tanah karang ini, puisi ini tentang puisi orang timur
dinegeri Munaseli
WATANG PEING
Bangun
dalam dekapan kepulan asap dapur
Raut
karang masih dirias oleh embun
Kicauan
mentari masih tersipu malu
Saat
langit jingga perlahan tertelan cahaya surya.
Suara
adzan subuh slimuti dingin pagi
Seakan
Baranusa tlah berpindah ke Jazirah Arab
Langgar,
surau dan puluhan masjid Tlah ramai
Dengan
kata Amin di penghujung surat Fatiha
Kepulan
asap dapur membumbung tinggi dalam doa besar
Harapan
pun sllu ditambatkan pada Alaph
Silikokng
mulai dengan suarnya yang merdu
Irama
alu dan lesung kini mulai bersahutan
Dalam
ritme tampihan nyiru di pagi itu
Bocah-bocah
cilik ramai tutupi ilakeel
Setapak-setapak
tempat pejalan kaki
Sepertinya
tlah terbangun dengan riuh kaki yang melangkah
Senyum
ibu temani langkah anak- anak mreka
Aurah
dari raut yang dihiasi jilbab cantik dipandang
Berbekal
doa dan sbungkus bekal
Kakinya
melangkah dalam sholawat.
Secangkir teh yang tadinya hangat kini tlah
dingin dan tinggal satu tegukan terakhir untuk penutup pagi menjelang siang.
Ada sedikit senyuman tentang puisi pagi ini yang ku tulis serasa ada panggilan
kuat saat ku terpisah beda istal dan diapit pagoda rindu yang menderu. Tak
kusangkah mata basahi pipi...saat senyum seribuan anak rantau membawaku pada
tempat dimana aku berpuisi total.
Langganan:
Postingan (Atom)