Senin, 19 November 2012

Mentarang Ber-Iqro


Hari ini setelah ba'da ashar saya bersama rekan Guru sm-3T pak Ali berkunjung ke Rumah Mas Dody untuk membahas rencana pengajaran baca al-Qur'an pada anak-anak pulau sapi,Kecamatan Mentarang.sesampainya disana saya bersama mas dodi keliling pulau sapi, dari rumah ke rumah (istilah kerennya door to door) dengan rute dari masjid,pulau sapi, lidung keminci sampai pada jalan keluar dekat jembatan malinau(nama diambil dari sungai malinau yang melintas dibawahnya. Di rute terakir ini kita berkunjung ke sebuah warung yang alhamdulilah muslim, disini lah kita berdiskusi banyak antara saya, mas dodi dan pemilik warung tentang kegelisahan masyarakat muslim di kecamatan mentarang mengenai pengajaran ngaji kepada anak-anak mareka. Tak hanya itu saja kami juga bercerita tentang umat muslim disekitar yang tergolong kaum minoritas, ketimbang masyarakat lainnya. Hal ini sentak mengingatkan saya tentang daerah saya NTT khusunya kupang di Era tahun 90 an keatas lah yang nota bene waktu itu keadaanya sama persis dengan mentarang di Tahun 2012. Dimana waktu itu untuk akses ngaji dan mau jumatan aja kami harus rela berjalan jauh untuk bisa melaksanakan shalat n ngaji di masjid. Selain itu jarak antara muslim yang satu dan yang lain pun berjauhan.Tapi alhamdulilah sekarang Kupang Ku sudah berubah dan umat muslim pun udah semakin banyak. Kembali lagi di pulau sapi kecamatan mentarang ini, kalau mau dihitung umat muslimnya dapat kita hitung dengan jari(muslim maupun mualaf), untuk akses sholat di derah ini cuma terdapat sebuah masjid yg mau di kata Langgar lah kalo di kampung saya (Baranusa) masyarakatnya menyebut demikian, selain itu terdapat juga K.U.A alias Kantor urusan agama, tapi sayang kantor ini hanya beroperasi kalo jumatan aja pas ibada sholat jumat. Dan yang lebih memprihatinkan petugasnya cuma 2 orang aja( kasian juga ya) yg tugas utamanya adalah menjadi khatib n imam diwaktu jumatan saja.
Tak terasa waktu magrib udah menjemput, akhirnya saya bersama mas dodi pamitan tapi sebelum itu kami pun menitpkan pesan agar akan diadakan TPA (taman Pendidikan Al-Qur'an esok harinya Tanggal 20 Nov 2012 setelah ba'da ashar kiranya anak dari pemilik warung tersebut bisa berpartisipasi..dan Alhamdulilah mareka pun menyambut dengan baik. Setelah pulang sampailah kita di masjid dan saya bergegas mengambil air wudhu untuk melaksanakan shalat maghrib, eh sapa sangka ternyata udah banyak anak-anak kecil yang udah menanti di masjid untuk diajarkan ngaji. Setelah melaksanakan sholat berjamaah bersama-sama pengajiannya pun segera dimulai, dan yang menjadi Ustad dan Ustdja adalah saya, Muh Ali Muhsin(Malang), Noka Setya Maharani(jogjakarta) dan Sujarno(Jogjakarta). Pembukaanya diawalai dengan perkenalan yang di bawa oleh Ali, selanjutnya kita bersama-sama ber-ta'awudz dan mebaca basmalah, Serta melafadzkan Surat Al-Fatiha dan dan Al-ikhlas dan di lanjutkan dengan pengajaran pembacaan iqro sampai selesai.Alhamdulilah langkah pertama ini sukses..Terima Kasih Ya Allah. Amiin.

pulau Sapi, 19 Nov 2012

Kamis, 09 Agustus 2012

“ORENG” TRADISI SASTRA LISAN YANG MENDARAH DAGING


             Tradisi lisan merupakan bagian dari kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Sebagai kekayaan budaya, tradisi lisan tidak hanya berfungsi  sebagai alat hiburan, melainkan juga sebagai alat untuk memelihara dan mewariskan buah pikiran suku bangsa atau daerah pemiliknya. Di samping itu sebagai warisan budaya, tradisi lisan mengandung nilai-nilai luhur, norma, yang dapat digunakan sebagai pembentuk, perekat, pengontrol dan pengatur manusia dalam bermasyarakat. Oleh karena itu perlu dilestarikan, dikembangkan  dan dimanfaatkan dalam hubungannya dengan pembinaan apresiasi budaya pada umumnya. 
Salah satu jenis tradisi lisan tersebut adalah nyanyian rakyat. Nyanyian rakyat dalam hal ini yakni nyanyian naratif merupakan jenis sastra lisan bercorak naratif (cerita) yang dipertunjukkan dengan cara dinyanyikan atau dilagukan. Nyanyian naratif merupakan murni hasil kreatifitas masyarakat dan menjadi milik bersama, kemudian diwariskan secara turun temurun dengan cara berguru. Tidak ada buku rujukan yang dapat dijadikan pegangan, karena itu, nyanyian naratif termasuk kategori kelisanan primer primary oral.
Sebagai sebuah tradisi lisan yang hidup dan berkembang dalam masyarakatnya, nyanyian rakyat tiada terurut lagi akan siapa nama pengarangya (anonim). Yang ada hanya bahwa nyanyian rakyat lahir dari suatu masyarakat tradisional yang masih memegang teguh tradisi lisannya. Nyanyian tersebut berkembang dan bertahan dalam masyarakat pemiliknya. Hubungan antara keduanya, yakni nyanyian rakyat dan pemiliknya, bukan merupakan sesuatu yang dicari-cari atau hanya mengada-ada saja sebab nyanyian rakyat itu menampilkan gambaran kehidupan bagi masyarakat sebagai produk sosialnya.
Nyanyian rakyat tidak sekedar hidup dan tersebar dalam masyarakat, namun juga memiliki arti penting dan fungsi-fungsi kolektif bagi pemiliknya. Nyanyian rakyat disini memuat nilai–nilai budaya sebagai bahan permenungan bagi masyrakat di mana nyanyian ini bersal.
Masyarakat Lamaholot yang mendiami wilayah Flores Timur daratan, Adonara, Solor dan Lembata dalam kehidupan bermasyarakat menunjukkan kekhasan budaya aslinya yang menceminkan ciri-ciri masyarakat daerahnya. Demikian pula dengan masyarakat Lamaholot yang tersebar di Kabupaten Lembata yang merupakan bagian suku bangsa Lamaholot umumnya, juga menampilkan kekhasan budayanya yang diwariskan secara turun temurun oleh leluhurnya.
Di Lembata terdapat banyak kesenian tradisional yang merupakan warisan kebudayaan mereka. Adapun kesenian-kesenian tradisional itu berupa tarian-tarian rakyat, dongeng atau cerita rakyat, nyanyian rakyat dan bentuk-bentuk kesenian tradisional lainnya. Dari beberapa kesenian tradisional tersebut penulis hanya menyoroti salah satu nyanyian rakyat Lamaholot yakni Oreng. Oreng  merupakan nyanyian naratif masyarakat Lamaholot yang dipertunjukan dengan cara dinyanyikan atau dilagukan oleh seorang solois yang oleh orang Lamaholot disebut Oreng Alape (Penyanyi Oreng). Biasanya Oreng bisa dinyanyikan dalam tarian saat upacara pesta-pesta adat dan hari-hari besar  lainnya. Dalam tarian , Oreng berperan sebagai pemandu tarian tersebut. Cepat atau lambatnya tarian Sole sangat tergantung pada Oreng. Oreng dalam tarian sole sangat dinamis. mula Mula-mula solois (penyanyi Oreng) menyanyi dengan tempo lambat, kemudian sedang, dan makin lama makin cepat. Ketika tempo cepat, klimaks, semua orang dalam lingkaran tarian menghentakan kaki bersama-sama sambil berteriak siti alang ga-alang ga, sebagai pertanda bahwa tarian sudah berakhir.
Di Lembata, nyanyian rakyat tidak hanya berfungsi sebagai hiburan semata melaikan juga memiliki fungsi kultural dalam masyarakatnya. Demikian pula dengan Oreng. Sebagai satu nyanyian rakyat Oreng disini mengandung ide-ide, gagasan, berbagai pengetahuan tentang alam semesta menurut persepsi budaya masyarakat yang bersangkutan, ajaran moral keagamaan dan unsur-unsur lain yang mendukung nilai-nilai luhur. Hal ini menandakan bahwa Oreng  sebagai bagian dari warisan budaya perlu dikaji, guna meningkatkan apresiasi masyarakat tehadap Oreng. dengan meningkatnya apresiasi masyarakat terhadapnya, berarti nilai-nilai yang terkandung didalamnya dapat dihayati dengan baik dan mendalam.
Sebagai warisan budaya, Oreng pada masyarakat Lamaholot di Kabupaten Lembata mempunyai berbagai versi. Setiap wilayah Kecamatan bahkan Desa memiliki versinya masing-masing. Hal ini disesuaikan dengan pola pikir, tradisi dan tata cara adat istiadat daerahnya. Namun yang menjadi objek penulisan di sini adalah Oreng versi masyarakat Desa Udak Kecamatan Nubatukan Kabupaten lembata. Di desa ini Oreng sangat digemari masyarakat dan hingga kini tetap dipertahankan sebagai hiburan rakyat. Oleh karena itu, di Desa Udak Oreng  memiliki tempat khusus di masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari sikap dan persepsi masyarakat tentang Oreng dimana mereka menyadari bahwa Oreng adalah warisan leluhur yang harus dipertahankan.
Walaupun Oreng itu sudah populer di masyarakat Lamaholot pada umumnya dan masyarakat Desa Udak khususnya, namun tidak semua orang dapat menguasai dan dapat menyanyikannya. Masyarakat menyadari bahwa Oreng adalah kesenian rakyat mereka tetapi tidak semua dari mereka belum mengetahui nilai-nilai yang terkandung di dalammya.



Hakikat Oreng
Oreng merupakan salah satu nyanyian Lamaholot berbentuk narasi. Dikatakan nyanyian naratif kerena Oreng disini berupa tuturan yang cara penuturannya adalah dengan cara dinyanyikan. Mengenai isinya, Oreng biasanya memuat berbagai kisah atau peristiwa dalam kehidupan masyarakatnya. Tema dari Oreng pun senantiasa disesuaikan dengan situasi dan suasana hati saat oreng itu dilagukan. Bagi orang Lamaholot khususnya masyarakat Udak sebagai pemilik nyanyian naratif ini, Oreng merupakan tradisi lisan yang menggambarkan kehidupan berbudaya masyarakatnya harus dijunjung tinggi dan dipahami secara khusus.
Nyanyian naratif Oreng biasanya dibawakan atau dinyanyikan oleh seorang solois ( penyanyi tunggal) yang oleh masyarakat Lamaholot di Udak biasa disebut dengan Oreng alpe. Apabila dinyanyikan sebagai pengiring tarian, oreng selalu diawali dengan Sole  (salah satu nyanyian bersama yang diselingi dengan pantun berbalasan) ketika gerak tarian itu semakin cepat maka Oreng alape akan mengambil alih. Dengan kemampuan Gapen Garek    (kemampuan penyanyi Oreng merangkai kata-kata) sang penyanyi akan mengiringi tarian dengan nyanyiannya yakni Oreng itu sendiri. Isi nyanyiannya pun cenderung lebih panjang karena dalam tarian, Oreng biasanya mengangkat berbagai kisah hidup masyarakat. Hal ini berbeda dengan Oreng yang dilagukan saat Oreng alape sedang sendirian misalnya saat mengiris tuak (tuak lolon) atau saat sedang duduk bersama sambil melepas lelah, isi Oreng hanya mengisahkan satu peristiwa kehidupan seseorang, entah itu kisah hidup Oreng alape itu sendiri atau kisah hidup orang lain yang menyentuh hati sang penyanyi.
Bahasa yang digunakan dalam Oreng bukanlah bahasa yang selalu digunakan masyarakat sehari-hari melainkan bahasa dengan pilihan kata khusus dan mengandung makna kiasan sehingga tidak bisa dipahami secara harafia namun membutuhkan interpretasi dari pendengarnya. Pilihan kata-katanya pun disesuaikan dengan motif saat Oreng dilagukan. Pilihan kata-kata khusus Oreng ini bertujuan untuk mempengaruhi perasaan pendengarnya. Jika Oreng dilagukan saat suasana sedih maka seorang Oreng alape akan menggunakan nua snusana (kata- kata sedih) yang mampu membuat pendengarnya menangis. Sebaliknya apabila oreng dilagukan saat suasana senang (dalam keramaian pesta), seorang Oreng alape biasanya menggunakan nua senarena (kata-kata bahagia ) sehingga terkadang membuat pendengarnya tertawa senang. Hal ini berhubungan dengan Oreng sebagai salah satu karya seni yang harus memiliki cita rasa seni tinggi untuk dinikmati dan akan lebih muda dipahami isinya.
Berdasarkan pada pandangan masyarakat, terutama tokoh masyarakat, dan penutur Oreng itu sendiri bahwa, hakikat Oreng tidak bisa dipisahkan dari pertimbangan akan bentuk, isi, serta arti Oreng. Kajian mengenai hakikat Oreng meliputi tujuan Oreng dilaksanakan, cara belajar Oreng, penutur Oreng dan kriteria seorang penutur.
1.        Tujuan Oreng
Nyanyian naratif Oreng merupakan tradisi turun temurun masayarakat Lamaholot termasuk masyarakat di Udak. Nyanyian naratif ini bisa saja dilagukan dengan tanpa dan melibatkan partisipan. Namun di Udak, Oreng lebih sering dinyanyikan dalam upacara-upacara adat, pesta dan bentuk-bentuk keramaian lainnya. Dengan kata lain, Oreng di Udak lebih sering dinyanyikan dengan melibatkan partisipan. Apabila membutuhkan partisipan, maka oreng ini dinyanyikan oleh Oreng alape dalam sebuah tarian, dimana semua pesertanya mendengarkan nyanyian ini secara hikmat sambil berpegangan tangan dan bergerak melingkar secara teratur yakni dengan derap kaki berirama dan tetap.
nyanyian naratif Oreng bertujuan untuk mengisahkan berbagai peristiwa kehidupan masyarakat secara keseluruhan atau peristiwa khusus  seseorang dimana kisah perseorangan ini tidak terlepas atau masih bersangkut-paut dengan kehidupan sosial masyarakat Lamaholot secara keseluruhan. Selain itu, nyanyian naratif Oreng dilakukan dengan tujuan untuk menghibur dan yang paling penting disini adalah melakukan Oreng berarti mengembangkan seni budaya Lamaholot yang kaya dengan bahasa puitis yang memiliki pengertian dan arti yang luas.
Suatu hal yang yang perlu tegaskan dalam kajian ini adalah bahwa panjang pendeknya kisah dalam nyanyian naratif Oreng sangat tergantung pada penuturnya. Dengan kata lain, bahwa penutur mempunyai hak untuk memperpanjang atau memperpendek ceritanya sesuai dengan kondisi, waktu, tempat dan situasi penuturnya. Yang penting cerita yang disampaikan oleh Oreng alape senantiasa terikat pada elemen-elemen kesusastraan sesuai dengan poetika Lamaholot.

2.        Cara Belajar Oreng
Seorang penutur Oreng haruslah mempunyai bakat khusus sehingga hanya orang-orang tertentu  yang mampu unutk menuturkan Oreng. Oleh karena itu, seorang penutur juga harus memiliki pengetahuan yang luas tentang peristiwa yang dituturkannya lewat nyanyian.selain itu, ia juga memerlukan latihan khusus bagaimana melakukan gapen garek    ( kemampuan merangkai kata-kata) dalam nyanyian naratif Oreng.
Setiap penutur memiliki cara tersendiri yakni ada yang langsung belajar pada penyanyi atau penutur terdahulu dan cara berikutnya adalah dengan cara otodidak yakni mendengar dan merekam sendiri nua maketa (kata-kata kunci) dan mempraktekannya sendiri. Cara otodidak ini jarang dilakukan oleh sembarangan orang namun ada juga yang lebih mudah untuk belajar. Cara ini penutur oreng biasanya lebih mudah untuk mengembangkan ceritanya dan bebas dalam merangkai kata-kata dalam tuturannya.
 Sebagai contoh, Berdasarkan wawancara terhadap bapak Laurensius Ali, beliau mengaku bahwa ia lebih mudah mempelajari Oreng dengan cara otodidak yakni mendengarkan nyanyian langsung dari kakaknya Alm. Antonius Lewun Udak. Perlu diketahui bahwa kedua orang ini merupakan Oreng alape yang sangat diandalkan oleh masyarakat Udak.
3.        Penutur Oreng
Oreng alape adalah penutur yang memiliki bakat khusus atau keahlian dalam menciptakan dan menuturkan Oreng. Penuturan Oreng yang dilakukan semata-mata karena dorongan dan kesadaran untuk mewariskan kesenian asli Lamaholot dan mengembangkan budaya menuturkan Oreng. Pada umumnya, di Udak, oreng alape berusia antara 40-75 tahun. Namun tidak menutup kemungkinan adanya penutur Oreng yang masih berusia lebih muda berdasarkan kriteria umur di atas. Pada umumnya, Oreng alape ini mnyanyikan Oreng karena terdorong oleh keinginan pribadinya untuk menghibur dirinya sendiri, kerabat, dan masyarakat secara keseluruhan. Selain itu, Oreng merupakan salah satu bentuk kesenian budaya Lamaholot, dan juga memiliki nilai kehidupan berbudaya serta nilai-nilai estetik yang terkandung di dalamnya.
4.        Kriteria Seorang Penutur
Dalam nyanyian naratif Oreng, seorang penutur Oreng harus betul-betul memahami dan memiliki pengalaman dalam melakukan gapen garek (kemampuan merangkai kata-kata) yang indah untuk dijadikan syair Oreng. Sesuai dengan lingkungan sosial kemasyarakatan, seorang penutur Oreng dituntut untuk betul-betul tahu, memilih kata-kata dan mampu menguasai bahasa Oreng, mempunyai warna vokal dan teknik pernapasan yang baik dan seimbang, haruss tahu apa maksud dan tujuan Oreng dilagukan sebagai penutur tuan rumah dan juga mampu menanggapi apa yang dituturkannya.

                 Sumber :Hasil diskusi Bersama Simon Vinsensius Padji, S.Pd

Selasa, 10 Juli 2012

SEPATU USANG

langit menimpuk pipi ku
bangunkanku dalam celah-celah liku
seperti bisik waktu pada debu-debu munafik
ah tak taukah engkau
gerutu halaman yang renta itu
bukit-bukit putih membumbung di otak kepala ku
tak sengaja ku pilih seonggok tuhan mungil dalam sepatu usang

Jumat, 09 Maret 2012

SUDUT RUMAH PEREMPUAN

Mata dari malaikat sembap
seperti embun pagi yang lembab menuju teriknya surya yang sia-sia
selaksa renyang kemarin pagi
diri ini ibarat sepotong roti tak berjiwa

sejenak ku simpa otakku disaku celanaku
terdiam dalam kelam detik meminang menit

nikmatilah puisiku
selagi masih ada tawaran dalam tubuh seoranng Resi
rasakan juga hening
biar engkau dapatkan bahagia
bukan sekedar bahagia

Rumah perempuan 2012

Rabu, 18 Januari 2012

CORETAN CERITA

Kapan lagi kita berbicara seperti kemarin
saat semua luka kau obati dengan senyum mu
kini semua serasa sirna seperti sang embun ditelan mentari
kau pergi titipkan sebait puisi atas nama mu

puisi-puisi ku kini tinggalah cerita
bukan balada dari setiap tilam dari nestapa dalam itar

sediakalanya waktu berputar
senyummu tak akan memudar di angan ku
tentang mu adalah anugrah
anugrah dari mimpi sang penyair sepi



MAORIN

Mengejar senyum
Antara bayang dan angan
Sisipkan taksim mimpi sang pemimpi
Mimpi ku tentang mimpi tuhan
Kala ku ukir per kalimat menjadi segurat rintih

Seonggok Rindu dan Galau dalam secangkir Kopi malam
hadirkan panembahan hati buat sesepi sesuap Pada lipatan itar
Puisi ku kini sepi dalam tilam perih
dan aku tak bisa melihat ia dalam dekapan pena ku 
Puisi ku hapuslah kesut yang menggerut dikening mu
biar hati mu tak luruh pada tahta sungsang


Bila Esok dari nafasmu lahirkan sajak-sajak,
dari sajakmulah aku telah mengukir kisah kita bersama.

Selasa, 10 Januari 2012

WATANG PEING




Pagi ini serasa gelisah saat  mentari menjemputku ditepi jendelah rumah yang dicumbu waktu. Ditemani secangkir teh dan irama musik hiphop bawakan ku pada proses panjang, entah mulai dari mana aku akan berkisah.
Nyanyian mentari masih beradu dengan irama gokil lagu Ma’u situkang ojek buah karya dari anak-anak P.M.C( PBSID MC CREW),  menari-nari dalam lingkaran fikiranku hingga ide-ide serasa bom waktu yang ingin meledakan kepala ini dengan sejuta ritme tabuhan gong peperangan. Sesaat tangan ini mengambil cangkir yang berisi teh untuk diteguk, dalam skemata fikirku dengan berjuta kata dan rima ingin merontak bak ketuban yang pecah ingin mengeluarkan puisi-puisi dari pijakan tanah karang ini, puisi ini tentang puisi orang timur dinegeri Munaseli

                    WATANG PEING

Bangun dalam dekapan kepulan asap dapur
Raut karang masih dirias oleh embun
Kicauan mentari masih tersipu malu
Saat langit jingga perlahan tertelan cahaya surya.

Suara adzan subuh slimuti dingin pagi
Seakan Baranusa tlah berpindah ke Jazirah Arab
Langgar, surau dan puluhan masjid Tlah ramai
Dengan kata Amin di penghujung surat Fatiha

Kepulan asap dapur membumbung tinggi dalam doa besar
Harapan pun sllu ditambatkan pada Alaph

Silikokng mulai dengan suarnya yang merdu
Irama alu dan lesung kini mulai bersahutan
Dalam ritme tampihan nyiru di pagi itu
Bocah-bocah cilik ramai tutupi ilakeel

Setapak-setapak tempat pejalan kaki
Sepertinya tlah terbangun dengan riuh kaki yang melangkah

Senyum ibu temani langkah anak- anak mreka
Aurah dari raut yang dihiasi jilbab cantik dipandang
Berbekal doa dan sbungkus bekal
Kakinya melangkah dalam sholawat.

 Secangkir teh yang tadinya hangat kini tlah dingin dan tinggal satu tegukan terakhir untuk penutup pagi menjelang siang. Ada sedikit senyuman tentang puisi pagi ini yang ku tulis serasa ada panggilan kuat saat ku terpisah beda istal dan diapit pagoda rindu yang menderu. Tak kusangkah mata basahi pipi...saat senyum seribuan anak rantau membawaku pada tempat dimana aku berpuisi total.