Kamis, 18 Februari 2010

SURGA RETAK DITELAPAK KAKI IBU

Menangisla bunda
menatap ku pergi
hanya linangan kehancuran mencium jiwa
dewi apalah arti smua yang ku punya
tetapi jiwa dan mata ku telah menyebrangi jembtan murtad
sering ku pinta kabarnya!
Smua itu sirna tertiup sepoinya angin,
jujur bagai bumi dan langit kita brjauhan.
hati dewi hancur linangan mata air,
ketika kau datang sekedar pinta panjtkan doa restu,
malam bermuram durja,
tangisan dewi hanya bisa bersabda kau anak ku,
dan kini kau telah di sebrang yang tak mungkin bisa menyatukan kita.
smuanya hanya kuserahkan pada yang memberi.

PERJALANAN MIMPI

Adakah surau biar daku terlelap
mengakhiri semua pengembaraan ku
sungguh jiwaku keluh
merontah dalam kebisingan waktu
ruh ku terperanjat tanya
apakah ini adalah akhir dari smua
mentari saja enggan disapa malam
aku tak bisa berdendang dengan sonar fikirku
mengalun luka hati demi kau
seribu syair kulantunkan
tapi apa ?
Aku merindukan dia..
Usai saja mimpi ini
esok akan ku lanjutkan
karena satu yang ku tahu dan mungkin alam pun tahu:
"karena cintalah yang membuat diri ini betah dan sesekali bertahan"
ssssttt.....
Jangan ganggu jiwaku yang sedang melukis ribuan senyumanmu di dalam detak jantungku.

REFLEKSI TUHAN HANTU

Arti hidup
mungkin tak ada yang membayangkan
sederet tanya selalu menghujam
mungkin Aku lupa
bahwa hidup ini banyak ketakutan
setiap insan mencri keteduhan atas nama ilahi
walau terkadang ilahi tergadaikan Hantu
sekujur tubuh ini berseru "TUHAN ADALAH HANTU & HANTU ADALAH TUHAN"
Smuanya bisa salah tapi satu keyakinanku dalam hidup ada namanya kesenangan dan ketakutan.

TUHAN TAMENG DUSTA

Seribu bunga mengulum rindu
pelupuk mata kabur tertutup kabut
lambaian pagi menyapa
sang surya tersenyum geli
ini puisi bukan pisau
yang siap membelah jantungmu
ini syair bukan syiar
yang mudah kau mengerti
dictator mengumbar janji dusta
diatas mimbar ketamakan
bersembunyi
di bawah ketiak demokrasi
berkibar
diatas panji-panji reformasi
bergandengan tangan dg tikus berdasi
mana.....!
Ikrar yang kau ucapkan
kini tuhan menjdi tameng dusta dan iblis fasilitator sejati
seribu sukma mengumbar sulbi
derajat bangsa tergadai
nurani terkungkung jeruji dusta
mister global tersenyum ria
tapi.....
Apakah ia kan selalu tersenyum??
Bila sukma berani menjawab dan nurani berkata jujur.
Pasti BHATARA YANG AGUNG kan menutup NERAKA.

ARTI ENGKAU

Lepas dari sepi jiwaku melangkah
mencari cinta atas nama anugrah
walau tertatih kuharus berjuang
sungguh semua karena engkau yang kupandang
apalah raga
bila tak ada cinta yang terjaga
serasa hampa dan ruyam
sungguh tak pernah terbyng ku memujamu
setiap waktu diri ini terbayang akan parasmu
apa yang harus kulakukan untuk semua ini yang kutahu ku sangat mencintaimu
inilah gerangan mengapa ada suatu madah
ingin sekali ku ciptakan untukmu syair yang begitu indah
Seperti Mawar

Seperti mawar
Bibirmu lebih berduri dari darahku
mengecupnya aku hilang tempat di bumi
aku pun terbang ke nirwana
Terurai dalam panas parasmu bulan purnama
Lalu disaat langit bertabur cahaya
bayang-bayangmu kembali menyusut
sesatkan aku pada terowong tanpa ujung
(lagi…)
(Catatan untuk Gusty Fahik)

Oleh Yoseph Lagadoni Herin

TATKALA membaca tulisan Gusty Fahik di harian ini (PK, 17/12/2008) bertajuk "Membangkitkan Sastra NTT (Kado Prematur Buat NTT di Usia Emasnya)", saya teringat Laurens Olanama. Pesan yang dikumandangkan Gusty Fahik, dalam nada yang sama pernah disampaikan Olanama dalam sebuah artikelnya awal tahun ini, di sebuah media lokal.

Kala itu Olanama menulis tentang sahabatnya, Eskoda, yang meninggalkan tembok biara demi panggilannya memperisterikan sastra dan idealisme membumikan sastra di Flores. Eskoda mati muda sebelum impiannya terwujud. Pada akhir tulisannya, Olanama menulis, "Kini setelah empat tahun kematiannya, tak ada tanda kebangkitan (sastra Flores) yang berarti. Seperti ingatan yang kabur tentang kapan meninggalnya seorang Eskoda!"

Siapa Eskoda? Hanya orang-orang dekat mengenalnya sebagai penyair muda dengan segudang idealisme. Saya harus membongkar koleksi Seri Buku VOX akhir tahun 1990-an untuk mencari tahu siapa sesungguhnya Eskoda. Dalam VOX Seri 43/4/1999 saya menemukan Eskoda adalah nama media Siprianus Koda Hokeng. Juga puisinya: Doa Sang Prajurit (Buat Para Pahlawan Reformasi). Hanya satu puisi yang ditemukan. Tapi puisi sepanjang sepuluh bait itu menunjukkan secara tegas kualitas kepenyairan Eskoda. Jempolan!

Gaya menulisnya mirip sang idola, Chairil Anwar. Demikian pun garis hidup. Dia juga 'binatang jalang, dari kumpulan yang terbuang.' Chairil memilih menjadi binatang jalang dan terbuang dari keluarga inti di Sumatera setelah menolak ajakan sang ayah pulang ke Medan. Selain karena kecewa dengan ayah yang mengkhianati sang ibunda dengan menikah lagi, Chairil sedang mabuk asmara dengan seorang gadis Betawi. (Puisi 'AKU' yang kesohor itu ditulis dalam suasana bathin seperti ini, sehingga 'AKU' juga bisa dibaca sebagai perlawanan Chairil terhadap ayahnya). Eskoda menampik ajakan teman untuk tetap bertahan di jalan imamat. Ia mantap memilih jalan sunyi, menyusuri lorong kata-kata demi membumikan sastra di Nusa Nipa. Keduanya pun mati muda. Chairil dirongrong TBC, Eskoda mati dalam kecelakaan lalulintas.

Tapi, sekali lagi, siapakah Eskoda dalam pentas sastra Nusantara? Apakah publik secara luas mengenalnya sebagai penyair muda penuh bakat? Mungkin hanya para frater Ledalero zaman itu! Demikian pun sejumlah nama yang saya temukan dalam Seri Buku VOX seperti Laurens Olanama, Stef Tupeng Witin, Paschal Semaun, Polce Hokeng, dan Rafael Gawi Lonek. Puisi-puisi mereka bernas, penuh daya pukau dan berbobot. Tapi karya-karya mereka tak pernah terbaca di atas cakrawala sastra Indonesia nan maha luas karena hanya dikonsumsi komunitas lokal.

Ketika berada di Jakarta awal Desember silam, saya bertemu sahabat lama. Ia penyuka sastra, piawai menulis puisi dan cerpen. Kini wartawan Kompas. Kala membaca beberapa puisi saya (yang terekam di handphone), dia sontak bertanya: mengapa tidak dikirim ke Kompas? Saya hanya tersenyum dan mengatakan bahwa sudah dimuat di Pos Kupang. Dia terdiam sesaat sebelum melanjutkan dengan kalimat tandas, tanpa basa-basi, "Jika ingin dikenal dalam dunia sastra Indonesia, harus berani keluar NTT, diekspos di media nasional. NTT terlalu jauh dari Jakarta, Pos Kupang terlalu kecil untuk Indonesia."

Hemat saya, di sinilah inti soal yang mencuatkan kekhawatiran Gusty Fahik akan tiadanya sastrawan NTT yang mencatatkan namanya dalam belantara sastra Indonesia. Sastra NTT tidak pernah mati. Ia terus hidup dan menggeliat. Karenanya kata 'membangkitkan' rasanya kurang pas. Yang perlu dilakukan sekarang adalah 'mengenalkan'. Caranya dengan membuka ruang lebih luas agar karya-karya sastra NTT bisa menjadi konsumsi nasional.

Nama-nama seperti Umbu Landu Paranggi, Dami N Toda, Gerson Poyk, dan Yulius Siyaranamual adalah sastrawan-sastrawan NTT yang pada zamannya berkarya langsung di pusaran sastra Indonesia di Surabaya, Yogyakarta dan Jakarta (baca: Jawa). Mereka mempublikasikan karya-karya mereka di media nasional, aktif dalam forum-forum sastra nasional bersama sastrawan Nusantara lainnya, serta menerbitkan antologi puisi, cerpen ataupun novel karya mereka. Tambahan lagi, selalu ada upaya saling membesarkan di antara para sastrawan.

John Dami Mukese tidak mengalami kehidupan sebagaimana para seniornya. Dia hidup dan berkarya di balik tembok biara. Tapi karyanya dikenal luas karena sering mempublikasikannya di media massa nasional. Puisi-puisinya dari Filipina pernah menghiasi halaman Kompas. Dia juga menerbitkan sejumlah antologi puisi. Karenanya dikenal luas. Maria Mathildis Banda pun demikian. Nama yang cukup dihormati kalangan sastrawan muda Bali ini pun tidak pernah berada di pusat sumbu kehidupan sastra Indonesia. Dia berkembang sebagai sastrawan ketika belajar di Fakultas Sastra Unud Denpasar. Namanya dikenal luas karena rajin mempublikasikan dan menerbitkan novel-novelnya, terakhir novel Surat Dari Dili hangat dibicarakan.

Tak ada lagikah sastrawan muda NTT pasca nama-nama di atas? Viktus Murin dan Mezra Pellandou di awal 1990-an pernah menjuarai lomba menulis puisi antarmahasiswa Indonesia. Mezra Pellandou masih terus berkarya. Sejumlah cerpennya masih menghiasi halaman media nasional di Jakarta, termasuk Jurnal Cerpen Indonesia. Cerpennya, Manusia-manusia Jendela meraih juara pertama Lomba Menulis Cerpen Indonesia bagi Guru Sastra se-lndonesia. Namanya tercatat sebagai pengurus Komunitas Cerpen Indonesia (satu-satunya dari NTT). Terakhir dia juga mulai menerbitkan novel-novelnya. Loge, misalnya, novel berlatar belakang bumi Merapu, Sumba.

Di manakah Viktus Murin? Setelah terjun ke dunia politik nyaris tidak terdengar lagi kiprahnya di dunia sastra. Nasibnya sama dengan sejumlah nama yang ditemukan dalam Seri Buku VOX. Mereka punya potensi besar menjadi penyair. Namun setelah tenggelam dalam kesibukan kerja sehari-hari, tidak lagi berkarya kreatif. Kalaupun masih menulis, jarang mempublikasikannya. Atau, hanya lewat media-media komunitas sehingga tak pernah dikenal luas. Saya yakin, masih banyak nama lain yang tenggelam sebelum berkembang. Mereka 'mati muda' di dunia sastra. Kenyataan ini dikeluhkan sastrawan senior NTT, Felycianus Sanga. Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP Undana Kupang ini mengeluh karena banyak mahasiswa yang pernah dibimbing tidak lagi bergelut dengan sastra setelah tamat. Padahal mereka punya potensi luar biasa.

Setelah generasi Mezra, kini muncul sejumlah sastrawan muda. Mereka 'berani' menerbitkan antologi puisi. Misalnya Bara Pattyradja, Jefta Atapeni, Charlemen Djahadael, dan Abdul M Djou. Dalam usia belum genap seperempat abad, mereka sudah rajin mengikuti pertemuan-pertemuan sastrawan tingkat nasional. Terakhir Oktober silam, berempat hadir dalam forum Temu Penyair di Lembang, Bandung.
Dari forum tersebut, puisi-puisi Abdul M Djou dan Charlemen Djahadael bergandeng dengan karya penyair besar semacam Izbedy Setiawan ZS, Inggit Putria Marga, Ahmadun Yosi Herfanda, Dian Hartati, Dorothea Rosa Herliany, Dina Oktaviani, Iman Budhi Santosa, Sindhu Putra dan lain-lain dalam antologi bersama Tangga Menuju Langit. Sedangkan nama Bara Pattyradja dan Jefta Atapeni juga bersanding bersama sastrawan besar semacam Beni Setia, Arip Senjaya, Triyanto Triwikromo dan lain-lain dalam antologi cerpen bersama Sebelum Meledak.

Demikianlah. Sastra NTT tetap hidup dan menggeliat. Tapi suaranya tidak pernah kedengaran sampai di Jakarta karena hidup ibarat katak dalam tempurung. Yang perlu dilakukan adalah 'mengenalkan' karya-karya sastra NTT. Ini tugas bersama. Baik sastrawan, media massa dan lembaga penerbitan, serta uluran tangan pemerintah daerah. *

*) Yosni Herin, Mantan wartawan, penyuka sastra dan Wakil Bupati Flores Timur

Opini Pos Kupang 6 Januari 2009, halaman 14

Rabu, 10 Februari 2010

KAMPUS ATAU KAMPUNG

Hampir-hampir
Waktu saja ku cumbu
Menyiasati sepi pada sulbi
Menampik keadaan di ruang detik
Mengejar cita pada kesengan dunia
Bahkan sifat kedesaan ku pun termaktub
Saat pengembaraan perintah tuhan
Diistana tuhan kujadikan rumah
Dengan segala kepolosan ku
Cibiran yang sering ku lontar
Larangan dari keharibaan tuhan
Pun sabdakan
Segalah macam ayat-ayat binatang
Ku tuturkan
Anjing
Babi
Kea
Monyet
Terkadang aku memang nabi
Menjadikan rumah tuhan
Seperti rumaku yang reot
Sehingga seenaknya mencumbu perintah tuhan
Dalam pengelanaan ku menjadi tuhan
Hingga ku giring Manusia Menjadi Nabi
Tetap saja !!!!!!
sifat kedesaan ku pun termaktub
Diistana tuhan mareka jadikan rumah
Dengan segala kepolosan
Cibiran yang sering di lontar
Larangan dari keharibaan tuhan
Pun sabdakan
Segalah macam ayat-ayat binatang
Ku tuturkan
Anjing
Babi
Kea
Monyet

Bahkan sifat kedesaan pun termaktub
Di rumah tuhan.

CRISTO RHEI

CRISTO RHEI

Nama ku Ahmad
Aku bersahabat
dengan markus, yohanes, rama dan shinta
seperti surya yang setia bersahabat dengan mega dan bumi
dalam darah ku ada markus, yohanes, rama dan shinta
itulah negeriku berbaur antar suku etnis budaya dan agama

Nama ku Ahmad
Lahir diantara samudra keagamaan
Merangkak
Tertatih-tatih diatas bumi
Tubuh ku nusantara
jiwaku tertambat di Timor
darahku samudra nusantara
senyumku nyiur melambai
fikiranku setajam karang Timor
jari-jemariku
Islam, Kristen, Katholik, Hindu, dan Budha
aku hidupkan
sosok Tuhan dari jemariku
membuatNya terenyum
berdiri kokoh ditanah Timor

Ahmad
Aku bersahabat
dengan markus, yohanes, rama dan shinta
sejuta senyuman terpancar di negeriku
itulah negeriku berbaur antar suku etnis budaya dan agama
nama ku Ahmad
tubuhku kecil
karena sangat kecil
yang terlupakan dimuka bumi
aku lahirkan
wajah Tuhan dengan senyum
tubuh kokoh
berdiri diatas bola dunia
menatap lautan dengan senyuman
memberi berkah
pada pesisir Timor

Nama ku Ahmad
aku hidupkan sosok Tuhan
dengan senyuman
melampaui jagad raya

Ahmad
tubuhku kecil
karena aku sangat kecil
dimata sang pencipta



!!!

Senin, 08 Februari 2010

CERITA TENTANG YENI.R.T

CERITA TENTANG YENI.R.T

Cerita tentang engkau
Sudah setahun
Aku mencoba menyelami jiwamu
Tak ada rasa keluh dan sesal di hatiku
Semakin ku mengagumi mu
Semakin membuatku
Untuk bercerita tentang mu
Kau ajari aku tentang perasaan
Kau ajari aku tentang kata yang membuat luluh setiap yang mendengar
Kau ajari aku tentang makna hidup
Kau ajari aku tentang waktu
Kau ajari aku
Dari apa yang tak pernah kulakukan dalam hidupku
Kau ajari aku untuk mengenal ilahi
Karena engkau
Aku dapat mengerti
Dan kan selalu
Berceita tentang mu
Karena kau telah mengajariku
Supaya aku selalu ada
Dan selalu ada
Demi bercerita tentang mu
Karena kau ajari aku.

DEMI WAKTU

DEMI WAKTU

Luka
Bayang
Meringsek sukma
Buaian bunda
Menatap aulia
Semilir harap
Membawa senyum
Aku ingin hidup dan selalu hidup
Bersama aulia
Bukan sepi yang ku pinta
Bukan doa yang dimunajatkan
Tapi semua itu
Demi hidup besama an’nur
Meski peluh melumuri tubuhku
Aku tetap
berlari
Hingga waktu
Tak pernah berputar.

BANGSA INI BUKANLAH MILIK KAMI

BANGSA INI BUKANLAH MILIK KAMI

Negeri ini untuk mu
Bukan mili kami
Kaum pinggiran
Kami hanya bisa bernapas
Tapi tak bisa untuk bergerak maju
Berdendang di panggung
Karena negri ini adalah milikmu
Kaum mayor
Tapi bukan buat kami
Kami kaum minor

PENGELANA FIRDAUS

PENGELANA FIRDAUS
For you my brother TYO

Seperti temaram
Rembulan menemani malam
Tawa riang bintang
Bersorai mengalunkan rima
Ada saja
Kata membuat seurat senyum
Demi tarian rima
Kau dan aku berkelana dalam irama
Memburu protes
Pada waktu
Menunjukan jiwa
Karena kita ada
Ada saja tarian alfabetis
Merangkai senyum diwajah kita
Seprti mentari
Bangunkan dunia
Pada mahligai
Yah!!!!!!
Ituulah temaram hidup
Meratapi waktu
Bermain dalam lautan rima
Kau adalah malaikat
Dalam jiwamu ada kudus
Kata-kata mu adalah sabda
Melahiran bunda dari nafasmu
Kau malaikat
Dalam tubuhmu menglir darah sepeti kami
Senyuman mu
Melampau pantai jawa
Menyisiri
Ambon kiser
Flores
Sumba
Timor
Alor dan sabu
Senyum mu
Memabukan jiwa larut dalam sajak kerawang bekasi
Yang pernah kau bisikan
Di tepi firdaus untuk kami
Sabda mu
Mengajarkan kami
Hidup seperti siwalima
Meneguk patika dalam endus waktu
Senyum
brother…….
you my hero
You my angel
For us
TYO

PENGELANA FIRDAUS

PENGELANA FIRDAUS

For you my brother TYO

Seperti temaram

Rembulan menemani malam

Tawa riang bintang

Bersorai mengalunkan rima

Ada saja

Kata membuat seurat senyum

Demi tarian rima

Kau dan aku berkelana dalam irama

Memburu protes

Pada waktu

Menunjukan jiwa

Karena kita ada

Ada saja tarian alfabetis

Merangkai senyum diwajah kita

Seprti mentari

Bangunkan dunia

Pada mahligai

Yah!!!!!!

Ituulah temaram hidup

Meratapi waktu

Bermain dalam lautan rima

Kau adalah malaikat

Dalam jiwamu ada kudus

Kata-kata mu adalah sabda

Melahiran bunda dari nafasmu

Kau malaikat

Dalam tubuhmu menglir darah sepeti kami

Senyuman mu

Melampau pantai jawa

Menyisiri

Ambon kiser

Flores

Sumba

Timor

Alor dan sabu

Senyum mu

Memabukan jiwa larut dalam sajak kerawang bekasi

Yang pernah kau bisikan

Di tepi firdaus untuk kami

Sabda mu

Mengajarkan kami

Hidup seperti siwalima

Meneguk patika dalam endus waktu

Senyum

brother…….

you my hero

You my angel

For us

TYO

PADOA

PADOA

semenjak waktu rasa ada
bejumpa kalbu anyelir pilu
minag-miang rindu
menabur kasih tubuh sepi
riang-riang safana menyanyikan sabda bumi

Tak ada kata yang mengukir jiwa dengan mahligai cinta
Searas sunyi tapaki jiwa kehampaan hati
Luka kalut tawa
mengukir nestapa enggan bersujud
ah duka
kaukah api yang menyuluh rindu
tapaki jiwa kehampaan hati

luluh hari dengan luka
kata menyisak rindu perih
sepenggal asah pedihnya muram
rindu nestapa
pilu perawan dengan durja
singgah terlelap pada tawa tabu
bisikan waktu
di negeri perawan
memanggil khalifah
mencumbu senyum
leleh waktu menutupi mata

Pagi itu aku kaku
Terengah mentari menyusut
Antara raijua dan mesara
Sukma apa yang kau pancarkan
Dibalik teduh tiris matamu
Apakah hamparan nyiur melambai
Yang mengiris jiwamu
Ataukah lautan donahu
Memberi berkah
Dari peluh tertatih merangkak pada aras
Ataukah padoa
Membuatmu lupa akan dunia
Antara raijua dan mesara
Atulkah kah nawweni
Membuatmu peluh
Tuk beranak pinak
Menghsilkan malaikat
Menabu kasih
Membelai senyumam nawwenni
Di negeri perawan.

RINDU ANAK KARANG

!!!

RINDU ANAK KARANG

Memanjati malam

riang sunyi

menabur dawai

harpa tangis menyulut harap

engkaulah sunyi

dalam kalut sepi

engkau

membawa Tanya

dalam kebisingan gulana

kabar apa yang ingin kau bisikan

pada lelaki paruh baya ini

seteguk indu

secawan sulu menerangi hati

ataukah

seungguk perasaan

agar istal sulbi meramu kata pada ilahi

tubuh ini hanya diam

panjati malam

melahirkan anak karang

dibawah sulbi

meraung rindu

!!!